pengambil alihan


Sudah lumayan banyak cerita yang saya dengar mengenai pengambil alihan sebuah tempat usaha.
Cerita tetanga yang sudah buka kafe dengan menu yang aduhai enak dan begitu banyak pelanggan sehingga sudah terkenal kelezatan masakannya, dengan serta merta pemilik kios menghentikan kontrak kios karena tergiur untuk membuat usaha yang sama. Tapi sayangnya tidak bisa menandingi kelezatan masakan si tetanggaku, alhasil si pengambil alih tidak mendapat kesuksesan yang diimpikannya. Lalu bagaimana nasib tetangga saya? Di lingkungan tempat tinggal saya udah terkenal kelezatan masakannya, bahkan kalau ada acara bazaar biasanya cepet habis. Masih bisa menerima pesanan nasi kotak, namun pernah membuka sebuah rumah makan masih sepi pengunjung, karena berada di tempat yang kurang tepat (menurutku, masakannya enak, tarifnya sedikit mahal, tapi membuka rumah makan di daerah desa, jadi sepi pengunjung). Itu kabar terakhir tentang tetanggaku di Kediri dulu.
Cerita supir sewaan yang saya dan keluarga ajak mudik ke Kediri, bagaimana ia sudah sukses dengan kafe kecil yang disewa di sebuah tempat di Jakarta, ga menyangka akan diambil alih oleh pemilik tempat untuk membuka usaha yang sama. Alhasil usaha pengambil alih gagal total. Tapi sekarang tetap berbesar hati karena sukses menjadi pengusaha katering yang tidak perlu menyewa tempat, cukup memasak di rumah saja. Sudah ada perusahaan yang langganan dengan masakannya, turut bersuka cita.
Cerita seorang pedagang nasi pecel yang juga pernah menyewa tempat akhirnya diambil alih. Kabar terakhir membuat usaha rumahan berjualan nasi pecel di depan rumahnya, dan rasanya sedap serta laris manis.
Cerita penjual makanan di kios kecil yang laris manis diserbu para karyawan di sekitar tempat usahanya, kalau jam mwkan siang tempatnya ruameeeee.. ada yang makan di sana, ada yang dibungkus. Diambil alih oleh adiknya sendiri yang gagal berusaha di rantau orang, dan memang tempat usaha itu hak dia tapi sedihnya juga diminta karyawan yang biasa bantuin si ibu penjual makanan di kios kecil itu. Berita terakhir si ibu buka usaha yang sama di tempat yang tidak jauh dari tempat sebelumnya, dan sewanya aduhai sangat mahal, tempatnya juga lebih kecil, dan anaknya ada yang dengan sukarela berhenti kuliah, jadilah ia membantu ibunya, tapi usaha si ibu tetap laris manis. Lalu bagaimana cerita adiknya sang pengambil alih? Jualannya tetap laku, walau tak selaris si ibu, karena di sana memang tempat yang strategis, banyak karyawan atau mahasiswq yang akan singgah membeli makan.
Ceritaku tentang penjual bakso langgananku di Pekanbaru yang tiba2 menghilang, dan pernah mencicipi sekali waktu bakso si penjual yang menggantikan, aduh rasanya jauh dari sedap. Aku tidak pernah tahu nasib si penjual bakso.
Ceritaku tentang penjual nasi pecel di daerah pertokoan deket sini (daerah Tambun) yang tidak tahu kabarnya setelah lebaran lalu. Itu jadi tempat favorit sarapan hampir setiap hari. Sampai saat ini belum berniat mencoba masakan penjual yang menggantikan ibu si tukang pecel, krn belum tertarik dengan menunya 🙂 Sampe sekarang masih penasaran dengan keberadaan si ibu…jualan dimana ya?
Ada yg punya cerita yg sama atau sekedar berkomentar silahkan 🙂

2 Comments Add yours

  1. Iwan Yuliyanto berkata:

    Saya juga sering mendengar curhatan para pengusaha kuliner spt itu, bisnis lapaknya di akuisisi oleh pemilik lapak. Dan nasib selanjutnya si pengakuisisi ini tidak sesukses pebisnis lapak sebelumnya.

    Biasanya, awalnya pemilik lapak sok akrab nanya-nanya resepnya, pura-pura ikut bantu masak… ujung-ujungnya rahasia dapur terkuak tanpa sadar.

    Saran saya, kalo memang mutu masakannya enak ya percaya diri saja dg jualan di depan rumahnya sendiri. Namun kalo ternyata tempat jualan / rumahnya sendiri itu tidak strategis … ya tinggal konsep marketingnya aja yg dibagusin, MLM (mulut lewat mulut) diperkuat, being different & unik. Dengan begitu… kalo pelanggan jatuh cinta, meski letaknya di ujung gang setelah menyeberangi sungai dan kuburan sekalipun, pelangganpun akan dg setia datang 🙂

  2. zahraflo berkata:

    iya pak bener, tapi sayang kadang seorang koki mahir memasak tapi tidak lihai marketing, jadi butuh kerjasama atau mungkin konsultsi dulu dengan yang telah mahir dalam strategi penjualan 🙂

Tinggalkan komentar